eorang putri tidur mulai terjaga dari istirahatnya. Dalam kabut hidup, ia mulai tersadar dari indahnya alam mimpi. Jiwanya yang dikira tak lagi kuat menopang untuk hari, namun begitu bersemangat menghadapi dunia. Kakinya yang terasa sangat lelah dan sangat rapuh itu terus saja melangkah menyongsong hari dan mimpinya yang terus membara. Semangatnya tak pernah berkurang laksana aliran sungai yang terus mengalir dalam menuju impiannya.
Tiara memang terlahir cacat. Terlahir tanpa kaki sebelah kanan membuatnya sulit untuk mendapatkan teman apalagi sahabat. Tiara selalu di ejek anak-anak di lingkungan ia tinggal. Ia sering di hina, namun dia tetap saja tegar dan menerima kekurangan yang diberikan Allah kepadanya. Memang Tiara tidak terlahir sempurna seperti teman-teman sebayanya, namun semangat Tiara menjadi suatu kelebihan yang tak ternilai harganya.
Tiara kini mulai mengarungi kehidupan di masa remajanya. Tak pernah terlintas raut kesedihan di wajahnya yang cantik itu. Sorot matanya penuh api semangat untuk berjuang, meskipun ia tak mempunyai seorang teman. Hanya orangtuanya yang selalu mendukungnya. Nasehat yang selalu diberikan orangtuanya menjadi api semangat tersendiri bagi Tiara dalam usaha menggapai mimpinya.
Tiara bersekolah di sebuah sekolah menengah atas negeri di daerahnya. Pada awalnya, banyak sekolah yang menolak kehadiran Tiara dan menyarankan untuk masuk ke sekolah menengah atas luar biasa. Perjuangan Tiara dalam mencari sekolah yang mampu menerimanya berakhir ketika SMA N 2 mau menerimanya dan kesempatan bersekolah itu tak pernah ia sia-siakan. Awal bersekolah, Tiara di pandang bagaikan orang asing. Sorotan mata penghuni sekolah itu selalu menyorot tajam kepadanya. Tiara yang pergi sekolah menggunakan kursi roda itu selalu menjadi bahan pembicaraan teman-teman sekolahnya.
Meskipun sudah hampir setengah semester bersekolah, belum ada satupun teman sekelasnya yang mau berbicara padanya. Perasaan Tiara berkecamuk, hatinya terasa kosong. Ia tidak dapat berbagi cerita dan tak ada yang mau membagi cerita bersamanya. Dalam sunyi sudut kelas, tanpa terasa air mata Tiara mengalir. Tak ada satu orangpun teman sekelasnya yang peduli. Di dalam hatinya, Tiara terus berharap kepada Allah untuk memberikannya sahabat.
“Ya Allah, ku mohon, untuk detik ini saja, berikanlah aku seorang sahabat, aku sangat butuh teman untuk berbagi suka dan duka ya Allah” ungkap Tiara dalam hati.
***
Takdir mulai mendorong matahari untuk segera menunaikan kewajibannya. Disaat itu pula, pelukan hangatnya sang fajar membangunkan Tiara. Hari ini adalah hari asing baginya. Tak pernah sebelumnya semangat Tiara luntur seperti ini. Untuk menapaki hari, ia terasa sangat malas.
Tiara harus segera pergi sekolah agar tidak terlambat. Hari ini ia tidak fokus terhadap apapun yang ia hadapi. Matanya masih memerah, memancarkan rasa sedih tanpa seorang sahabatpun.
Di suatu ketika, pelajaran di kelasnya dihentikan sejenak ketika seorang siswa baru, masuk ke kelasnya. Aulia, seorang anak pejabat di kotanya dipindahkan oleh orangtuanya dari sekolah lamanya. Aulia bukanlah anak yang baik, ia dipindahkan karena dia tertangkap menggunakan narkoba bersama teman-teman di sekolahnya yang lama. Untung saja Aulia tidak di keluarkan dari sekolah lamanya, ia masih diberikan kesempatan untuk melanjutan pendidikan dengan syarat telah melakukan rehabilitasi dan melanjutkan di sekolah lain.
Aulia duduk tepat di sebelah bangku Tiara karena hanya disanalah tempat yang kosong. Memang sebelumnya tak ada yang mau duduk disebelah Tiara.
“Hai, aku Tiara” Sapa Tiara pada Aulia
Aulia hanya diam, ia sedikitpun tidak menghiraukan sapaan Tiara.
“Apakah aku memang tak pantas memiliki teman?” pikir Tiara
***
Hari berganti, Tiara masih saja seperti itu, kusam tanpa semangat. Tiara menyusuri jalan sekitar kelas dengan kursi roda bututnya. Tangannya yang begitu terampil menggerakkan ban kursi roda itu kini tak semulus dulu karena sering lecet saat menggerakkan kursi roda tersebut. Tiba-tiba Tiara tersentak seperti melihat pemandangan yang aneh. Tiara melihat Aulia yang sedang sendiri termenung dan menitikkan air mata. Tiara ingin kesana, tapi tangannya tak kuasa menggerakkan kursi rodanya. Akhirnya, kemelut perasaan ragunya terpatahkan, dan Tiara segera menemui Aulia.
“Hai Aulia, kenapa kamu menangis” Kata Tiara membuka pembicaraan
“Bukan urusanmu, aku benci disini, tak ada yang mau bicara padaku” jawab Aulia yang tampak masih menitikkan air matanya.
“Oh, jadi itu yang kamu tangisi Asal kamu tahu, masalahku lebih parah dari masalahmu dari kecil hingga sekarang, aku tak pernah punya teman apalagi sahabat. Di sekolah ini tak ada satu orangpun yang mau berbicara padaku. Mereka memandang aku seperti orang gila yang tak pantas untuk mendapatkan teman.” Ungkap Tiara
“Aku tak tau mengapa aku berkata begini padamu, tapi jujur saja, kamu lebih beruntung dari pada aku Aulia. Kau terlahir sempurna, cantik. Masa lalumu yang membuatmu sulit mendapatkan teman, jika mereka sudah melupakan itu, kamu pasti segera mendapatkan teman seperti yang kamu inginkan. Sedangkan aku. Akan tetap sendiri seperti ini” Tambah Tiara
Suasana di tempat mereka bertemu itu menjadi hening. Tak ada lagi kata yang terucap dari mulut Tiara. Hanya masih terdengar isak tangis dari Aulia yang belum dapat terbendungkan. Tiara berusaha menghiburnya, namun tetap saja Aulia tidak memperdulikannya.
“Aulia, lebih baik aku tinggalkan kamu sendiri, aku yakin, kamu butuh waktu untuk menyendiri” Kata Tiara.
Tiarapun mulai menjalankan kursi rodanya menuju ke kelas. Tiba-tiba suara keheningan terpecahkan oleh teriakan Aulia.
“Tiara, maukah kamu menjadi temanku” Pekik Aulia sambil berlari menemui Tiara
“Mungkin, jika kamu mau memintaku untuk menjadi temanmu, aku akan jawab tidak, karena aku ingin menjadi sahabatmu” ungkap Tiara sambil menitikkan air matanya.
Aulia pun merangkul Tiara, rasa haru menyelimuti suasana hati mereka. Merekapun saling menyeka air mata dan mulai memberikan senyuman pada dunia. Mereka mulai saling bercanda saat mereka melangkah menuju ke kelas untuk melanjutkan pelajaran.
Persahabatan Tiara dan Aulia semakin dekat. Aulia pun semakin sering bermain kerumah Tiara. Mereka selalu pulang sekolah bersama, membuat tugas sekolah bersama dan melakukan aktivitas bersama. Mereka sekarang terlihat seperti saudara dan sampai-sampai membuat orangtua Tiara dan Aulia merasa cemburu dengan kedekatan putri-putri mereka tersebut.
Suatu hari, Tiara dan Aulia sedang berjalan-jalan di taman bunga tak jauh dari rumah Aulia, mereka bertemu dengan Aira dan Anisa. Aira dan Anisa adalah siswi pembuat onar dikelas mereka. Mereka berdua tak pernah luput dari masalah, setiap hari selalu dimarahi guru.
“Hai Aira, Anisa, sedang apa disini” sapa Tiara yang sedikit berteriak
“Eh, ngapain lo panggil-panggil kita” jawab Aira sekenanya
“Di sapa malah jawabnya sewot gitu” Jawab Aulia sedikit marah karena diperlakukan seperti itu.
“Aira, yuk kita pergi, gak jelas aja kita kesini” Ajak Anisa kepada Aira
Merekapun pergi meninggalkan Tiara dan Aulia, Aulia tampak marah melihat perlakuan Aira dan Anisa. Namun amarah Aulia itu dapat di redam oleh Tiara.
“Mereka memang seperti itu, mereka memang selalu membuat kekacauan di kelas. Ya, kamukan bisa lihat sendiri tingkah laku mereka. Mereka dari dulu selalu mencemooh aku karena keadaan aku seperti ini” Jelas Tiar pada Aulia.
Merekapun berniat untuk beranjak dari tempat itu, ketika mereka ingin membalikkan badan, mereka dikejutkan suara pekikan, bunyi rem yang berdesing dan bunyi hantaman keras di jalan tepatnya di belakang mereka. Segera Tiara dan Aulia menuju tempat itu. Orang-orang banyak berkumpul disana. Mereka mendengar percakapan orang-orang di tempat itu yang mengatakan ada dua orang anak perempuan yang tertabrak mobil dalam keadaan yang sangat parah. Mendengar itu segera Tiara dan Aulia menusuk masuk dikerumunan orang-orang tersebut. Betapa terkejutnya mereka saat mereka tau yang tertabrak itu adalah Aira dan Anisa.
“Aira, Anisa” pekik Aulia memecah pembicaraan semua orang yang ada di jalan itu.
“Hei, apa yang kalian tonton disini, cepat cari bantuan. Cepat. Disaat temanku sedang kritis begini tak ada satupun dari kalian yang mau menolong” Teriak Tiara kepada kerumunan orang-orang yang berada disana.
Terlihat ada seorang bapak-bapak mengambil telepon genggamnya dan segera menelpon ambulan. Tak lama setelah itu datanglah ambulan yang telah dihubungi tadi. Kerumunan orang-orang yang sedari tadi tampak ramai kini semakin berkurang sedikit demi sedikit. Tiara dan Auliapun ikut kedalam ambulan untuk mengantarkan Aira dan Anisa ke rumah sakit.
“Aira, Anisa, ayo bertahan, kalian harus kuat” gumam Tiara sambil menitikkan air mata.
Sesampainya di rumah sakit, segera Aira dan Anisa dimasukkan keruang UGD, Tiara dan Aulia tampak gelisah berada di depan ruang tersebut. Sesekali mereka saling menenangkan antara satu dengan yang lain.
Hampir sekitar 20 menit, dokter keluar dari ruang UGD, segera Tiara bertanya kepada dokter akan keadaan Aira dan Anisa.
“Bagaimana dok keadaan teman kami?” kata Aulia sambil beranjak menuju dokter yang keluar dari ruang UGD
“Teman kalian dalam keadaan kritis, mereka kehilangan banyak darah. Saat ini kami kehabisan stok darah. Golongan darah mereka berdua adalah A, kami .....” belum sempat sang dokter selesai menjelaskan semuanya, Tiara langsung memotong perkataan dokter.
“Ambil saja darah saya dok, golongan darah saya juga A, ambil saja dok, yang penting teman saya bisa selamat” kata Tiara
“Baiklah, tapi terlebih dahulu kamu harus cek kesehatan” sahut Dokter itu.
Tiara beranjak dari tempat itu. Auliapun tidak tinggal diam. Ia baru teringat bahwa pamannya adalah tetangga dari ayahnya Aira. Dengan segera ia membongkar seluruh file nomor telepon. Tak lama kemudian Aulia menemukan nomor telepon pamannya om Ami. Auliapun menelponnya dan meminta om Ami untuk menghubungi orangtua Aira.
Setengah jam berlalu dengan begitu cepatnya, Orangtua Aira dan Anisa tiba di rumah sakit. Tiara pun sudah selesai melakukan transfusi darah. Tiara tampak masih terkulai lemas. Orangtua Aira dan Anisa masing-masing mengucapkan terima kasih kepada Tiara.
“Tiara, saya berhutang budi dengan kamu. Terima kasih ya atas bantuan kamu. Mungkin, tanpa kamu Aira tidak akan selamat. Kini Aira sudah melewati masa kritisnya” kata ayah Aira
“Benar Tiara, saya juga mau berterima kasih kepada kamu, berkat kamu Anisa juga bisa selamat” sambung ayah Anisa
“Sama-sama om, yang penting mereka bisa selamat” jawab Tiara yang masih terbaring lemas.
Kini sudah tiga hari berlalu setelah kecelakaan itu, Tiara dan Aulia mulai melangkah menuju ke rumah sakit untuk menjenguk Aira dan Anisa. Terdengar kabar, Aira dan Anisa sudah siuman dan mulai kembali normal. Bergegas mereka menuju ke rumah sakit. Mereka telah menyiapkan semuanya, buah-buahan dan banyak yang lain untuk diberikan kepada Aira dan Anisa.
Sesampainya di rumah sakit, saat Tiara dan Aulia mulai membuka pintu, terdengar suara Aira dan Anisa memanggil nama Tiara.
“Tiara, maafkan aku, aku jahat sama kamu, aku selalu menyakiti kamu, aku jahat Tiara, aku jahat, maafkan aku” ucap Aira sambil memeluk Tiara.
“Ayah sudah menceritakan semuanya, didalam tubuh kami mengalir darahmu Tiara. Terima kasih Tiara” sahut Anisa yang ikut memeluk Tiara.
“Sudahlah kawan-kawan, jangan menangis, Tiara melakukan itu semua karena dia menganggap kalian adalah teman-temannya” jawab Aulia.
Tiara hanya terdiam seribu bahasa, mulutnya tak dapat mengucap sepatah katapun. Mereka berpelukan cukup lama, tangisan haru antara mereka tak dapat di hindari lagi, pipi mereka telah sangat basah dengan air mata.
“Sudah, jangan menangis lagi. Aku ikhlas menolong kalian” kata Tiara
“Tiara, maukah kamu menjadi sahabat kami” tanya Anisa
“Sudah tentu kawan” jawab Tiara dengan kembali meneteskan air matanya.
“Tiara, sebagai ucapan terima kasih kami, kami akan memberikan kamu sedikit hadiah, semoga ini dapat berguna untuk kamu” kata ayah Aira seraya menyodorkan sebuah kotak yang telah terbungkus rapi.
“Ayo buka Tiara” kata Aira
Tiara pun segera membuka hadiah itu. Betapa terkejutnya Tiara ketika melihat sebuah kaki palsu terdapat didalam kotak itu.
“Itu untukmu Tiara, pakailah” kata Anisa
“Aira, Anisa, om dan tante, terima kasih atas kadonya, tapi saya minta maaf, saya tidak akan memakai kaki palsu ini. Saya sangat bersyukur dengan keadaan seperti ini. Meskipun saya terlahir tanpa sebelah kaki, tetapi, saya telah mempunyai 6 kaki yang mau melangkah bersama saya. Kaki itu adalah Aulia, Aira, dan Anisa. Mereka adalah 6 kaki yang diberikan Allah kepada saya, hadiah terindah dalam hidup saya” kata Tiara dengan wajah yang telah basah dengan air matanya.
“Tiara, simpan sajalah kaki palsu itu, itu adalah milikmu, tak boleh kamu tolak. Simpanlah sebagai tanda persahabatan kita” kata Aira.
“Terima kasih Aira, akan ku simpan kaki ini” jawab Tiara.
Mereka berempatpun berpelukan, perasaan Tiara bercampur aduk, antara sedih, senang, bahagia dan terharu pun bercampur menjadi satu.
Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepatnya. Persahabatan mereka semakin erat dan tak terpisahkan. Sekarang, tak ada satu siswapun yang berani mengejek Tiara karena mantan preman di kelas mereka telah berubah dan berpihak pada Tiara. Tiara sangat merasa senang, Allah telah mewujudkan doanya. Hidup Tiara kini semakin bermakna. Persahabatan mereka kini menjadi suatu benteng kekuatan yang luar biasa. Aulia yang dulu memiliki masa suram dengan narkotika, kini telah jauh terbebas. Aira dan Anisa yang dulu menjadi biang masalah di kelasnya, kini menjadi siswi yang lebih baik, bahkan Aira dan Anisa ikut serta dalam 5 besar rangking kelasnya bersama Aulia dan Tiara. Kini Tiara merasa menjadi pribadi yang sangat sempurna, karena Allah telah memberikannya 7 kaki yang selalu siap untuk melangkah bersamanya.
karya : Nurul Hidayah